- Pelaksanaan Upacara
Upacara Melasti dilakukan antara empat atau
tiga hari sebelum Nyepi. Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar
Sundarigama seperti ini: "....manusa kabeh angaturaken prakerti ring
prawatek dewata."
Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara
Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala
perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau
mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan
persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan,
pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa. Sebelum
Ngrupuk, dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan persembahyangan.
Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik
dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara Melasti, pratima yang
merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan
tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara
Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan nama-nama
Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya.
Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang
dilakukan berdasarkan wilayah adalah sebagai berikut: di ibukota provinsi
dilaku-kan upacara tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud.
Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan
upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.
Sedangkan di masing-masing rumah tangga,
upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan
Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk
halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) dan di situ
umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan
sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk
digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah
sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9
tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air
tawar. Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang
belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan
natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah.
- Makna Upacara Melasti / Mekiyis
Menurut ajaran Hindu, melasti adalah
nganyudang malaning gumi ngamet Tirta Amerta atau menghanyutkan kekotoran alam
menggunakan air kehidupan. Laut sebagai simbol sumber Tirtha Amertha (Dewa
Ruci, Pemuteran Mandaragiri). Ritual dilaksanakan selambat - lambatnya pada
tilem sore, pelelastian harus sudah selesai secara keseluruhan, dan pratima
yang disucikan sudah harus berada di bale agung.
Ritual Melasti dilengkapi dengan
bermacam-macam sesajen baik sesajen khas Jawa maupun Bali. Sesajen tersebut
sebagai simbolisasi Trimurti, 3 dewa dalam Agama Hindu, yaitu Wisnu, Siwa, dan
Brahma. Serta diarak pula simbol singgasana Dewa Brahma yaitu “Jumpana”.
Makna Upacara melasti yakni proses pembersihan
lahir bathin manusia dan alam, dengan jalan menghayutkan segala kotoran
menggunakan air kehidupan. Oleh karena itu prosesi sembahyang dilakukan di
sumber-sumber air. Dilaksanakan selambat-lambatnya menjelang sore. Upacara ini
juga bertujuan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar Umat Hindhu diberi
kekuatan dalam melaksanakan rangkaian Hari Raya Nyepi.
- Tujuan Upacara Melasti
Tujuan dari upacara ini adalah untuk penyucian
diri. Dalam upacara Melasti menurut Lontar Sunarigama dan Sang Hyang Aji
Swamandala ada empat hal yang dipesankan dalam upacara Melasti tersebut.
Pertama untuk
mengingatkan umat agar meningkatkan terus baktinya kepada Tuhan (ngiring
parwatek dewata).
Kedua peningkatan bakti
itu untuk membangun kepedulian agar dengan aktif melakukan pengentasan
penderitaan hidup bersama dalam masyarakat (anganyutaken laraning jagat).
Ketiga untuk membangun
sikap hidup yang peduli dengan penderitaan hidup bersama itu harus melakukan
upaya untuk menguatkan diri dengan membersihkan kekotoran rohani diri sendiri
(anganyut aken papa klesa).
Keempat dengan
bersama-sama menjaga kelestarian alam ini (anganyut aken letuhan bhuwana).
Dengan melakukan empat
hal itu barulah manusia berhak mendapatkan sari-sari kehidupan di bumi ini
(amet sarining amerta ring telenging segara). Kalau eksistensi cuaca teratur
sesuai dengan hukum Rta maka laut akan senantiasa berproses menciptakan
mendung. Dari mendung itulah akan turun hujan. Hujan yang turun itu kalau disambut
di muka bumi ini oleh ibu pertiwi dengan hutannya yang memadai maka kebutuhan
air untuk berbagai keperluan hidup akan senantiasa teratur keberadaannya. Dalam
Bhagawad Gita III.14 dinyatakan bahwa air hujan itu adalah Yadnya alam kepada
semua makhluk penghuni bumi ini.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar